Penghujung Desember 2014, curah hujan sedang dalam fase tinggi dan aku masih setia menunggu kabar darimu telah mendarat di Lombok. Detik demi Detik terasa begitu lama, gawai masih saja sama, hanya notifikasi dari grup. Tapi bukan itu yang aku nanti, aku hanya menanti sebuah panggilan darimu di ujung sana. Waktu terus berlalu, beranjak dari detik menuju menit dan akhirnya menjadi jam, seperti itu pula kecemasan dan harapan serta doa yang aku panjatkan untuk segera mendapatkan kabar darimu.
“Mas, aku dah sampai lombok, tadi telat soalnya pesawat muter-muter dulu, jarak pandang terbatas karena cuaca buruk mas. sampean nek mau berangkat sing ati-ati mas, numpak bis e sing kepenak” ucap suara manis dan manja diujung telepon. Suara seorang gadis berjilbab dengan paras cantik dan alim, seorang gadis yang bernama Tiara. Ada rasa bahagia ketika tiara mengucapkan kalimat itu, kalimat yang membuat tenang akan perjalanan yang hendak ku lakukan.
Masih ada sisa waktu setengah jam lagi sebelum keberangkatan ke Lombok, untuk perjalanan kali ini kembali ku percayakan kepada PO Safari Dharma Raya yang memiliki rute kesana. Sambil menunggu ku hisap rokok kretek yang baru saja ku beli di Indomart depan garasi Kebayoran Lama. Hari ini yang bertugas ialah B 7168 LZ, armada yang berbekal chasis Mercedes Benz OH 1521 rakitan tahun 1999. Body garapan Morodadi Prima seakan menambah kokoh chasis Mercedes Benz ini, raungan mesin Yuchai berkode YC6G300-20 Turbo Intercooler 8.424cc mampu mengeluarkan tenaga 300 Horse Power sudah menyala sejak tadi.
Yach, setidaknya ini merupakan tempat yang nyaman untuk melakukan perjalanan 2 hari 2 malam demi sang kekasih yang sudah menantiku di pulau Lombok. Sang pujaan hati yang sedang melakukan PTT alias magang pada dunia Kedokteran. Alasanku menyusul dia naik bis karena aku membawakan barang-barang keperluannya selama PTT yang tidak dapat dibawa oleh bagasi pesawat. Kota demi kota, selat ku seberangi, dan hujan badai ku lalui tapi kalau gerimis aku malas kesana (Peace gaes), akhirnya sampai ke lereng rinjani, tempat Tiara mengabdi di sebuah desa bernama Sembalun.
Melepaskan rasa rindu yang semakin membuncah seperti seorang pemenang yang telah berhasil memilikimu. Kita melepas rindu, berjalan keliling lereng rinjani, bercengkrama dengan alam, banyak hal yang saling kita ceritakan dan banyak kejadian yang ku adukan kepadamu wahai pujaan hatiku. Perlahan ku ingin mengungkapkan rencana masa depan hubungan kita, tetapi sebelum ku berucap seakan tersambar petir disiang bolong. Seperti lagu balonku yang meletus balon hijau, dooorr….
“Mas, adek mau minta maaf sama mas. Kemarin sebelum berangkat PTT, orang tua ku mau menjodohkan aku sama anak temen beliau. Aku udah jelasin ke beliau kalau tetep pilih mas aja yang udah jelas kerjaannya, dan aku sempet berantem sama orang tuaku mas” ucap Tiara ketika Senja akan datang.
“hmmmm, ya udah dek mau gimana lagi. Aku ya ndak berani menentang orang tua, dituruti aja dek permintaan beliau karena doa restu dari orang tua itu yang utama dek. Jangan melawan sama orang tua dek, kamu coba mencintai calonmu setelah halal nanti ya, walaupun kalian belum saling mengenal karena perjodohan ini. Cinta itu nanti akan tumbuh dek seiiring jalannya waktu” Ku ucapkan hal itu sambil menghibur perasaan diriku yang hancur.
Saat itu Ada senja yang sedang menjaga air mataku untuk tidak tumpah, ada secangkir kopi yang saat itu dapat membuatku tetap tenang dengan ketika mendengar berita darimu. Kelak akan ada hujan sebagai tempat untuk menutupi sedih ku ketika ku menangisi dirimu.
Tiara, Setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan saat bersamamu walau pun hanya sebentar. Seandainya sang rembulan bisa berbicara, ku ingin engkau tahu kenapa walaupun kita terpisah masih memiliki rasa yang sama. Sekarang aku tahu dan paham sekeras apapun usahaku untuk memperjuangkanmu, sejadi apanya aku, itu terasa percuma. Karena memang bukan aku yang diinginkan oleh kedua orang tuamu.
