FK UNS menggelar Kuliah Umum dengan menghadirkan Kepala BPOM Prof. dr. Taruna Ikrar, M. Biomed., Ph.D. sebagai pembicara di Auditorium FK UNS pada Jumat (6/12/2025). Foto: Ist. 
 
SOLO - ‎Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar Kuliah Umum dengan menghadirkan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Prof. dr. Taruna Ikrar, M. Biomed., Ph.D. sebagai pembicara. Kuliah Umum dengan tema “Perkembangan Herbal Medicine di Indonesia, Peluang dan Tantangan” diselenggarakan di Auditorium FK UNS pada Jumat (6/12/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Taruna Ikrar menyampaikan kuliah umum di hadapan sedikitnya 100 peserta yang merupakan mahasiswa dari program studi Sarjana Kedokteran, Profesi Dokter, serta program S2 dan S3 Kedokteran. 

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Taruna Ikrar menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia berdasarkan potensi biodiversitasnya. Bahkan Hutan tropis Indonesia menyimpan sekitar 80 persen dari tanaman obat dunia. Status keanekaragaman hayati Indonesia tahun 2024 mencatat sekitar 31.031 spesies tumbuhan, 744.279 spesies hewan dan 14.580 spesies mikroorganisme. Sebanyak 1.845 spesies telah diidentifikasi sebagai tanaman obat dan sekitar 283 di antaranya telah terdaftar serta diproduksi di Indonesia.

“Indonesia memiliki potensi yang besar dengan Sumber Daya Alam yang dimiliki. Dari 31.031 jenis tumbuhan, 80 persen biodiversitas dunia ada di negeri ini. Tapi dari 18.600 jamu yang punya izin edar, hanya 72 yang naik kelas menjadi Obat Herbal Terstandar, dan hanya 20 yang menjadi Fitofarmaka,” terang Prof. Taruna Ikrar melalui siaran pers Humas UNS yang dikutip, Sabtu (6/12/2025). 

Prof. Taruna Ikrar menyampaikan bahwa terdapat empat tantangan utama yang masih menghambat pengembangan obat bahan alam di Indonesia. Pertama, standardisasi menjadi persoalan mendasar. Mulai dari kualitas bahan baku, proses ekstraksi, hingga identifikasi zat aktif masih menghadapi hambatan teknis yang krusial.

“Tantangan pertama tentu standardisasi. Mulai dari bahan baku sampai teknologi ekstraksi untuk mendapatkan zat aktif. Ini masih menjadi kendala besar,” terangnya.

Kedua, minimnya ketertarikan peneliti dalam mengembangkan riset herbal secara berkelanjutan. Banyak penelitian di perguruan tinggi dinilai berhenti pada publikasi ilmiah tanpa berlanjut pada pengembangan produk yang siap masuk industri.

“Kendala dalam riset ini yaitu terkait pembiayaan serta masih terbatasnya penelitian hingga komersialisasi produk fitofarmaka,” jelasnya.

Ketiga, tantangan produksi dan industrialisasi. Proses memperbesar skala produksi hingga menjadi industri yang mampu menyerap tenaga kerja masih membutuhkan dukungan lebih kuat. Selain itu, produk herbal yang akan digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi persyaratan yang sama dengan obat kimia, termasuk terdaftar dalam formularium nasional—aturan yang dinilai menyulitkan adopsi produk herbal di klinik dan rumah sakit.

“Salah satu kendalanya adalah aturan yang mewajibkan terdaftar di formularium obat. Sementara ini kan bukan obat kimia. Pemerintah sedang mengupayakan revisi untuk mempercepat adopsi herbal di layanan kesehatan,” jelasnya.

Keempat, akses pasar yang masih terbatas. Penggunaan obat bahan alam oleh tenaga medis maupun fasilitas kesehatan belum optimal karena belum sepenuhnya masuk dalam sistem pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sehingga mengurangi peluang pemanfaatan di layanan kesehatan.

Prof. Taruna Ikrar menyampaikan optimismenya bahwa pengembangan obat bahan alam di Indonesia dapat terwujud, mengingat besarnya potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia. Ia menegaskan bahwa BPOM siap bersinergi dengan perguruan tinggi untuk memperkuat riset, meningkatkan standardisasi, serta mendorong adopsi obat herbal di industri kesehatan.
“Kami siap mendukung dan bekerja sama semaksimal mungkin dengan kampus, khususnya UNS,” ujar Prof. Taruna.

Rektor UNS, Prof. Dr. Hartono, dr. M.Si. dalam kesempatan tersebut menegaskan bahwa UNS telah menyiapkan konsep besar lewat pembentukan Pusat Pengembangan Tropical Herb Medicine dan Biomedical Engineering yang terintegrasi dengan RS UNS.

UNS memiliki potensi yang besar utuk Pusat Pengembangan Tropical Herb Medicine dan Biomedical Engineering, di antaranya UNS memiliki Fakultas Kedokteran dengan fasilitas Laboratorium Kedokteran Terpadu dan Laboratorium Hewan Coba, RS UNS (Uji Klinik), Fakultas Pertanian, Fakultas Peternaan (Laboratorium Hewan Coba), Fakultas Teknik (Laboratorium Biomedical Engineering), Prodi Farmasi di Fakultas MIPA (Laboratorium Farmasi/Uji Preparasi Obat Bahan Alam), Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Alas Bromo dengan luas 120 Hektar di Kabupaten Karanganyar (Laboratorium Biodiversitas), Pusat Studi _Tropical Herbal Medicine, Pusat Studi Biomedical Engineering serta sudah melakukan MoU dan PKS dengan PT. Sido Muncul, PT. Brigit Biofarmaka, PT. Deltomed, dan lain sebagainya.

Prof. Hartono berharap BPOM dapat memberikan pendampingan sejak fase awal penelitian sehingga hasil riset UNS tidak hanya berakhir pada publikasi, tetapi mampu menembus standar Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.

“Harapannya, dalam 3–4 tahun ke depan jumlah fitofarmaka dan obat herbal terstandar dari Indonesia meningkat signifikan. Publikasi kami banyak, tapi harus dihilirisasi dan berdampak pada masyarakat,” tambahnya.

UNS juga menargetkan pendirian Poliklinik Herbal di RS UNS, melanjutkan pengalaman riset herbal sejak masa pandemi. Dokter-dokter yang bertugas juga telah memiliki sertifikat kompetensi pelayanan herbal.

Dekan FK UNS, Prof. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K), menyambut baik penyelenggaraan kegiatan ini. Ia menjelaskan bahwa UNS memiliki berbagai pusat studi dan unit riset yang relevan, seperti Pusat Studi Tropical Herbal Medicine, Pusat Studi Biomedical Engineering, serta sejumlah program studi yang fokus penelitiannya juga mengarah pada pengembangan herbal.

“Sudah cukup banyak riset herbal di UNS, tetapi bagaimana keberlanjutannya? Kami di UNS sangat memerlukan pendampingan dari pihak yang berkompeten, salah satunya dari BPOM,” ujar Prof. Reviono.