Catatan Perjalanan Menuju Puncak Merapi
Image Source : Freepik.com

Catatan Perjalanan Menuju Puncak Merapi

Setiap kali melihat Merapi, seperti ada daya magis terpancar dari gunung itu. Terbesit perasaan yang sulit dilukiskan saat itu. Seolah tak percaya dgn pemandangan yang ada didepan mata. Saat itu 1 tahun yang lalu, pertama kalinya menginjakan kaki di bawah Merapi (Jalur Selo / Utara) yg begitu tegar menantang sang awan. Timbul keraguan, apakah mungkin dia dapat didaki menggapai puncak Garuda? Bila melihat dari kejauhan, sepertinya mustahil mendaki kesana, dgn kontur dan bebatuan yang terlihat sangat labil serta kemiringan yang sangat tajam. Wuuihhh…seperti ‘mission impossible’ saja, namun akhirnya patut dicoba untuk menggapai puncaknya. Ternyata…semua keraguan terjawab sudah, Puncak Garuda akhirnya dapat ku peluk, dengan berbagai resiko yg harus dihadapi.

Awal Perjalanan

Sore itu pukul 15.30 sore, kembali ku pandangi kegagahan Merapi dari sisi Selatan. Apa yg terlihat sungguh sangat mencengangkan. Dulu ku-berpikir Merapi Utara / Jalur Selo tak mungkin bisa didaki sampai puncak. Ternyata jalur yg kulihat sore itu sungguh tak pernah terbayangkan. Dengan pemandangan yang lebih extrem dari Merapi Utara / Selo.

Jam menunjukkan pukul 21.00, saat itu kami baru saja mendirikan tenda di Pos IV Merapi. Hampir 4 jam kami melakukan pendakian malam itu. Dengan cuaca yg sangat bersahabat dan angin yang bertiup dengan kencangnya, menusuk persendian. Namun pemandangan yang indah membuat rasa lelah, pegal dan dingin bagai tak terjamah. Malam itu sengaja kami membuat tenda lebih awal untuk memulihkan tenaga dan melanjutkan pendakian esok harinya menuju Puncak.

Menuju Puncak Merapi

Pagi itu sekitar pukul 7, tampak 3 pendaki mulai merayapi tebing-tebing terjal, yang didampingi lembah serta jurang-jurang yg siap menyongsong tubuh-tubuh yang tak berdaya. Batu-batu cadas yang harus dilalui, memotong pinggir jurang untuk mencari jalur pendakian karena banyak jalur yg blank. Kadang hrs merangkak, bergelantungan pada dinding jurang, membuat tanda untuk jalur pendakian agar tak tersesat. Jalur yang dilalui adalah jalur yg dahulu sering dikunjungi pendaki, namun setelah letusan tahun 90-an, maka yang ada hanyalah jalan lahar yg tak lagi layak utk pendakian. Perlahan tapi pasti tampak 3 titik yg terus bergerak merayap pd dinding-dinding tebing Selatan Merapi. Angin kenyang dan licinya bebatuan, serta tajamnya karang tak mampu menghentikan niatnya untuk bisa merasakan keindahan Sang Pencipta.

TRENDING :  7 Jenis Makanan Yang Ini Bisa Kamu Konsumsi Untuk Mencegah Dehidrasi, No 4 Ada Di Setiap Tempat

Sajian Alam pada Puncak Merapi

Satu jam sudah perjuangan itu terlewati, jalur yg dilalui semakin sulit dan harus memutar  ke Timur memotong dan melintas jurang yang menjadi aliran lahar ketika Sang Alam memuntahkan amarahnya. Sungguh panorama yang disajikan membuat mata ini takjub dan terpancar rasa kagum atas kemurahan Sang Pencipta atas kesempatan yg diberikannya. Pendakian yg dilakukan memang hrs menerapkan semua kemampuan kita. Teknik memanjat, dan membaca medan harus benar-benar teliti. Setiap jejak langkah adalah nyawa taruhannya. Kelengahan, kesombongan serta kurangnya pengalaman mungkin bisa menjadi makanan empuk jurang dibawah sana. Disinilah alam menggembleng kita dengan kearifannya agar kita bisa laku santun dan bertindak dengan hati nurani.

Seperti lagu Merapi yang dinyanyikan oleh penyanyi fenomenal Katon Bagaskara, menceritakan pula tentang merapi sebagai saksi bisu dunia yang semakin tua, Merapi yang selalu membelah langit malam, memberikan kesuburan dari waktu lampau hingga saat ini bagi penduduk sekitar lereng merapi. Bahkan sayur dengan kualitas terbaik di Jawa Tengah dihasilkan oleh daerah lereng Merapi, dengan suhu dingin dengan sedikit kehangatan dari aktifitas merapi serta kelembaban udara yang pas untuk pertumbuhan segala jenis sayuran. Bahkan sayur dari lereng merapi sudah mulai merambah pasar ekspor, sayur ini tidak dapat tumbuh selain di lereng merapi.