• Jelajahi

    Copyright © Liputan Jateng
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Refleksi akhir Pekan Psikolog UMS Soleh Amini Yahman : Kita Tak Selalu Menang, Tapi Tak Pernah Sendiri

    Last Updated 2025-08-09T12:41:24Z


    Oleh :

    Soleh Amini Yahman. Psikolog

    Ada masa dalam hidup ketika segala daya upaya tak lagi berarti. Ketika tubuh tak lagi kuat, lidah tak mampu berkata, dan pikiran terasa buntu. Di titik itu, kita dihadapkan pada kenyataan yang jarang kita mau terima yakni,  manusia tidak selalu bisa mengendalikan segalanya. Kita adalah makhluk dengan batas, dan suatu hari harus berdamai dengan kelemahan.



    Di tengah dunia yang memuja pencapaian, kita sering merasa harus selalu kuat, selalu menang, selalu punya solusi. Kita terbiasa percaya bahwa keberhasilan adalah satu-satunya ukuran nilai diri. Namun hidup memiliki cara unik untuk mengajarkan bahwa kekuatan bukanlah segalanya. Sakit, kehilangan, usia tua, dan kematian datang tanpa permisi, memaksa kita berhenti, lalu menatap diri sendiri apa adanya.



    Dan di saat-saat kita tak lagi mampu berbuat apa-apa—baik secara fisik, emosional, maupun spiritual—di situlah kita sering kali menemukan pelajaran yang paling berharga. Kita mulai memahami bahwa harga diri tak hanya ditentukan oleh kemampuan, tetapi juga oleh keikhlasan menerima, keluasan hati untuk berserah, dan keyakinan bahwa hidup tak pernah lepas dari pengawasan Tuhan.



    “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

    Kenyataan lain yang sering terlupakan adalah: kita tidak selalu menjadi pemenang. Hidup bukan arena lomba yang selalu menempatkan kita di podium teratas. Kita bisa berjuang sepenuh tenaga, tapi kalah. Kita bisa mencintai sepenuh hati, tapi ditinggalkan. Kita bisa bekerja siang malam, tapi tetap tak dihargai. Namun semua itu bukan tanda kegagalan, melainkan bagian dari takdir yang membentuk kemanusiaan kita.



    Kekalahan bukanlah kehinaan. Justru di dalamnya kita belajar kerendahan hati, empati, dan keteguhan hati. Kemenangan sejati bukan sekadar mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan keangkuhan diri. Kekalahan yang diterima dengan lapang hati seringkali lebih mulia daripada kemenangan yang disertai kesombongan.



    Lalu, ada satu hal yang menyelamatkan kita dari tenggelam dalam putus asa: kebersamaan. Saat kita jatuh, orang lain mengulurkan tangan. Saat kita lemah, orang lain menopang. Saat kita kehilangan arah, orang lain mengingatkan jalan pulang. Kita diciptakan bukan untuk berjalan sendirian. Hidup ini dirajut dari untaian hubungan—keluarga, sahabat, tetangga, rekan kerja—yang semuanya menjadi jaring pengaman ketika kita terjatuh.

    “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan panas.” (HR. Bukhari dan Muslim)


    Kebersamaan mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah berdiri bersama. Bekerjasama berarti saling menutup kelemahan, saling mengisi kekosongan, dan saling menguatkan ketika salah satu di antara kita tak mampu. Dengan kebersamaan, bahkan kekalahan menjadi pelajaran yang indah; tanpa kebersamaan, bahkan kemenangan terasa hampa.



    Ketidakberdayaan sering menjadi pintu menuju kebijaksanaan. Kita mulai menghargai napas yang masih mengalir, senyum tulus, genggaman hangat, dan doa yang lirih namun kuat. Kita sadar bahwa nilai hidup bukan hanya diukur dari hasil kerja, tetapi dari kasih yang kita bagi—dan kasih itu selalu lahir dari kebersamaan.

    Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa sering kita menang, tetapi tentang seberapa tulus kita menjalani hari, bahkan ketika kalah, bahkan ketika tak mampu berbuat apa-apa. Dan selama ada orang-orang yang berjalan bersama kita, kita mungkin tak selalu menang—tetapi kita tak pernah benar-benar sendirian.

    Komentar
    Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
    • Refleksi akhir Pekan Psikolog UMS Soleh Amini Yahman : Kita Tak Selalu Menang, Tapi Tak Pernah Sendiri

    Terkini