• Jelajahi

    Copyright © Liputan Jateng
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Nahdlatul Ulama & Muhammadiyah, Satu Tarikan Nafas untuk Semesta

    Last Updated 2025-07-27T04:51:24Z


    Penulis

    Sri Herwindya Baskara Wijaya

    Peneliti dan Ketua Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi

    Universitas Sebelas Maret Surakarta

    juga

    Pemerhati masalah sosial, politik dan keagamaan

    Universitas Sebelas Maret Surakarta


    Bangsa Indonesia sepatutnya harus sangat bersyukur dengan hadirnya dua organisasi keagamaan paling berpengaruh di negeri ini yakni Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) (berdiri 31 Januari 1926 di Surabaya oleh Hadratussyeikh KHM. Hasyim Asyar’i (1871-1947 M) dan beberapa ulama besar lain) dan Persyarikatan Muhammadiyah (berdiri 18 November 1912 di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) dan beberapa ulama besar lain). Keduanya telah hadir sebelum Indonesia merdeka tahun 1945 serta memberikan sumbangsih luar biasa besar yang tak terhingga kepada republik ini sampai detik ini. NU dan Muhammadiyah senantiasa hadir sepanjang waktu untuk menjaga, merawat serta memajukan Indonesia agar senantiasa menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Sumbangsih keduanya tidak hanya berupa gagasan pikiran, deklarasi moral maupun seruan fatwa keagamaan, namun juga melalui lantunan doa, himpunan harta, genangan darah, taruhan nyawa serta untaian air mata melalui ragam medan perjuangan yang hakiki, tulus dan abadi. 



    “Langit tanpa rajawali, adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma … tanpa kemantapan hati rajawali, mata kita hanya melihat fatamorgana. Seperti itulah kira-kira peran dan posisi NU dan Muhammadiyah di negara kita,” demikian salah satu penggalan syair dari Si Burung Merak, almarhum W.S. Rendra (1935-2009), sastrawan tersohor di Indonesia tatkala menggambarkan tentang NU dan Muhammadiyah. Demikian halnya dengan cendekiawan terkemuka di Indonesia, almarhum Nurcholis Madjid atau Cak Nur (1939-2005) yang memberikan tamsil tentang eksistensi NU dan Muhammadiyah, “NU-Muhammadiyah bagai dua sayap untuk Indonesia. Agar negara ini berjalan seimbang dan juga bisa terbang tinggi, maka NU-Muhammadiyah sebagai sayap harus kondisinya sama-sama baiknya.”


    Pun dengan almarhum KH. Ahmad Hasyim Muzadi (1944-2017), seorang ulama besar Indonesia yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1999-2010. Pada saat berceramah pada Reuni Akbar 90 Tahun Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur, 9 September 2020, Kiai Hasyim Muzadi mengibaratkan NU & Muhammadiyah seperti sepasang sandal, “NU itu sama Muhammadiyah menurut saya itu sepasang sandal. Jadi kalau dipakai (maka) dipakai semua. Kalau tidak (dipakai) sekalian tidak semua. Jangan dipakai yang kanan (tapi) yang kiri tidak dipakai. Nanti dikira orang stres itu…Sekalipun NU (dan) Muhammadiyah ini berbeda dalam furu’ bahkan ibnul furu’, tetapi wawasan keumatannya sama, wawasan kenegaraannya sama. Karena Hadratussyeikh Kiai Hasyim Asyari ikut mendirikan republik. Kiai Ahmad Dahlan ikut mendirikan republik. Pahlawan nasional ada di kedua belah pihak. Tahu jerih payahnya membawa Islam di tengah kebhinnekaan yang luar biasa itu.”

    Tidak ketinggalan pula dengan sosok budayawan multidimensi Indonesia, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang memandang NU dan Muhammadiyah pada dasarnya tidak berbeda jauh, bahkan bisa saling melengkapi. Cak Nun menganggap jika seseorang berjiwa Muhammadiyah yaitu berkarakter seperti Nabi Muhammad, maka pada akhirnya akan menjadi seperti NU, yaitu ulama yang menguasai ilmu agama dan memiliki peran dalam masyarakat. Sebaliknya, jika seseorang mendalami NU, maka puncaknya akan memiliki semangat dan karakter Muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran agama. Saat acara “Sinau Nuzulul Qur’an”, 5 Juli 2015 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Cak Nun berkata, “Jadi kalau sudah ikut Muhammadiyah, otomatis jadi NU, jadi ulama. Sebaliknya, kalau ikut NU puncaknya ya jadi Muhammadiyah, berkarakter Muhammad. Jadi ayo bareng-bareng bangun Indonesia…Yang penting Muhammadiyah kompak, NU kompak, dan masing-masing tahu perannya apa bagi bangsa dan peradaban.” 

    Meskipun pada sebagian perkara terdapat sejumlah perbedaan terutama terkait sebagian amalan keagamaan, namun NU dan Muhammadiyah pada dasarnya lebih banyak persamaan daripada perbedaannya, terutama terkait dengan isu keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan. Perbedaan yang muncul lebih cenderung pada perkara-perkara yang bersifat cabang atau ranting, bukan pada perkara yang bersifat prinsip. Selain tentunya sama-sama sebagai umat Nabi Muhammad SAW, NU dan Muhammadiyah sejatinya secara makro adalah juga sama-sama berada dalam lingkaran tradisi besar madzab Sunni atau ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) baik terkait perkara teologis, fikih maupun tasawuf, meskipun dengan bahasa dan praktik yang agak sedikit berbeda. Kesamaan dalam tradisi Sunni inilah yang membedakan NU dan Muhammadiyah dengan tradisi-tradisi madzab lainnya dalam Islam seperti Syiah, Ibadi, Zahiri, Khawarij, Qodariyah, Jabariyah, Muktazilah, Murjiah dan lainnya. 

    Keumatan

    NU dan Muhammadiyah sama-sama dikenal sebagai organisasi yang sangat responsif terhadap persoalan riil keumatan. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya berbagai amal usaha yang dimiliki oleh keduanya sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas keumatan terutama di ranah keagamaan, pendidikan, kesehatan, filantropi (kemanusiaan) serta ekonomi. Di bidang pelayanan keagamaan, setidaknya NU saat ini memiliki ribuan majelis taklim serta puluhan ribu masjid, musala, langgar atau surau. Di bidang pelayanan pendidikan formal, NU saat ini memiliki sedikitnya 21.000 madrasah dan sekolah, 28.200 pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan serta 254 perguruan tinggi. 

    Di sektor pelayanan kesehatan, NU saat ini memiliki sedikitnya 40 rumah sakit dan 70 klinik kesehatan. Di bidang pelayanan sosial, NU mempunyai sedikitnya 149 panti asuhan. Di sektor pelayanan ekonomi, NU saat ini mempunyai sedikitnya 250 Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU) serta ratusan Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Di bidang pelayanan filantropi, NU saat ini memiliki Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dengan jaringan pelayanan dan pengelolaan ZIS oleh NU Care-LAZISNU sedikitnya di 29 negara, di 34 provinsi atau 376 kabupaten/kota di Indonesia dan lebih dari 10 juta relawan. 

    Pelayanan NU kepada umat juga merambah pada berbagai bidang seperti pengembangan pertanian, kemaslahatan keluarga, seni budaya, penyuluhan dan bantuan hukum, pendayagunaan wakaf, penanggulangan bencana dan perubahan iklim, pembinaan mualaf, pelayanan haji dan umroh, dan lainnya. Semua pengabdian NU kepada umat ini dikoordinasi dan dilaksanakan secara struktural organisasi yang pada saat ini terdiri dari 1 Pengurus Besar (PB), 34 Pengurus Wilayah (provinsi), 521 Pengurus Cabang (kabupaten atau kota), ribuan Pengurus Majelis Wakil Cabang (kecamatan), Pengurus Ranting (desa atau nagari) dan Pengurus Anak Ranting (dusun atau dukuh atau komunitas atau masjid atau musala), 31 Pengurus Cabang Istimewa (luar negeri), 14 badan otonom serta 18 lembaga di tingkat pusat. Pelayanan kepada umat ini juga secara kultural digerakkan oleh puluhan organisasi keprofesian dan komunitas yang berafiliasi dengan NU.

    Demikian pula halnya dengan Muhammadiyah dimana organisasi ini di bidang pelayanan keagamaan memiliki sedikitnya 12.000 masjid dan musala, 440 pesantren Muhammadiyah serta ribuan majelis taklim Muhammadiyah. Di bidang pelayanan pendidikan, Muhamamdiyah memiliki sedikitnya 272 perguruan tinggi (83 universitas, 53 sekolah tinggi, dan 36 lainnya) serta 5.354 sekolah dan/atau madrasah. Di bidang pelayanan kesehatan, Muhammadiyah memiliki sedikitnya 141 rumah sakit (dengan 20 rumah sakit diantaranya sedang dalam proses pembangunan), 231 klinik kesehatan, 57 balai kesehatan ibu dan anak, 120 balai kesehatan masyarakat, 122 balai pengobatan, 154 apotek dan 82 balai rehabilitasi cacat. 

    Selain itu, Muhammadiyah juga mengelola aset wakaf sedikitnya 20.465 lokasi dengan total luas tanah 214.742.677 m². Di bidang pelayanan sosial, Muhammadiyah mempunyai sekurang-kurangnya 1.012 amal usaha sosial (panti asuhan, panti jompo, balai kesejahteraan sosial, lembaga kesejahteraan sosial anak, lembaga kesejahteraan sosial lanjut usia, pusat pelayanan disabilitas, pusat santunan keluarga, pusat asuhan keluarga, balai pendidikan dan keterampilan). Di bidang pelayanan filantropi, Muhammadiyah memiliki Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) yang memiliki jaringan luas di seluruh Indonesia serta jejak pengabdian kemanusiaan di berbagai negara. 


    Di sektor pelayanan ekonomi, Muhamamdiyah mempunyai sedikitnya 300 Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM), 10 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan sedikitnya 128 gerai minimarket. Aset ekonomi ini belum termasuk Badan Usaha Milik Muhamamdiyah (BUMM) lainnya seperti jaringan bisnis dari PT Syarikat Cahaya Media (SCM) atau Suara Muhammadiyah (SM), official media milik Muhammadiyah, yang menaungi jejaring bisnis Toko SM, Penerbit SM, SM Kreatif & SMtv, SM Tower & Convention, SM Tour & Travel, Pusdalitbang SM, SM Logistic, BulogMu, Logmart, SM Management & Property dan SM Jetsky. Seasia Stats (2025), platform media sosial yang fokus pada data dan riset, terutama di Asia Tenggara, menyebut estimasi aset Muhammadiyah saat ini diperkirakan mencapai Rp 460 trilun dan menempatkannya sebagai organisasi keagamaan terkaya keempat di dunia. Semua aset kekayaan Muhammadiyah ini dikhidmatkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat, bangsa-negara dan kemanusiaan universal.



    Pengabdian Muhammadiyah juga menyebar di berbagai bidang seperti penanggulangan bencana, pengembangan seni budaya, olah raga, dakwah komunitas, pemeriksaan halal, pelayanan haji dan umroh, pembinaan mualaf, pendayagunaan wakaf, dan lainnya. Semua pelayanan kepada umat ini dikoordinasi dan dilaksanakan secara struktural organisasi yang pada saat ini terdiri dari 1 Pimpinan Pusat (PP), 35 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM, provinsi), 475 Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM, kabupaten atau kota), 3.947 Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM, kecamatan), 30 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM, luar negeri), 14.670 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM, desa atau nagari), 31 Unit Pengembangan Pesantren (UPP) serta 7 organisasi otonom. Pelayanan kepada umat ini juga secara kultural digerakkan oleh puluhan organisasi keprofesian dan komunitas yang berafiliasi dengan Muhammadiyah.

    Kebangsaan



    NU dan Muhammadiyah juga dicatat sebagai organisasi yang sama-sama memiliki jiwa kebangsaan (nasionalisme) yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan melalui peran besar keduanya yang luar biasa dalam upaya membela, menjaga, merawat dan memajukan Indonesia, sejak prakemerdekaan Indonesia hingga detik ini. Saat prakemerdekaan, NU dan Muhammadiyah juga ikut terlibat langsung dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang melalui strategi penjagaan dan penguatan pesantren, penolakan menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, penolakan seikerei (praktik membungkukkan badan ke arah matahari terbit sebagai penghomatan kepada Dewa Matahari bangsa Jepang, Amaterasu, yang dianggap sebagai leluhur para kaisar Jepang), mendirikan laskar perjuangan Hizbullah dan Sabilillah serta melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial. 



    Saat awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, NU dan Muhammadiyah terlibat dalam konfrontasi fisik dengan pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah kekalahan Jepang oleh sekutu pada Perang Dunia II tahun 1945. Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hadratussyeikh KHM. Hasyim Asyar’i kala itu mengeluarkan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 (15 Dzulqa’dah 1364 H) di Surabaya, Jawa Timur, yang berisi seruan kewajiban berjihad bagi umat Islam Indonesia dalam melawan kaum penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Fatwa ini menjadi dasar penetapan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Muhammadiyah mendukung penuh “Resolusi Jihad” oleh NU tersebut melalui “Seruan 30 Alim Oelama se-Jogjakarta” pada 20 November 1945 di Langgar Notoprajan, wilayah Kemantren Ngampilan, Yogyakarta. Pengurus Besar Muhammadiyah juga mengeluarkan “Amanat Jihad” pada 28 Mei 1946 (26 Jumadil Akhir 1365 H) di Yogyakarta yang berisi seruan kepada umat Islam Indonesia untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman kaum penjajah dan komunis.

    Saat awal kemerdekaan juga, NU dan Muhammadiyah terlibat langsung dan aktif dalam perumusan dasar negara Indonesia yakni Pancasila melalui peran besar para tokohnya seperti KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, H. Abikoesno Tjokrosoejoso, KH. Kahar Muzakir, Ki Bagoes Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Teuku Mohammad Hassan, dr. Sukiman Wirjosanjoyo, dan lain-lain. Demi keutuhan persatuan bangsa Indonesia, NU dan Muhammadiyah saat itu rela mengubah rumusan awal Pancasila Sila Ke-1 yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” (sesuai isi Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, 22 Juni 1945, sebagai hasil kesepakatan Panitia Sembilan: Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, Agus Salim, A.A. Maramis), rumusannya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana redaksi Pancasila Sila Ke-1 pada saat ini. 

    Untuk mempertegas kembali bukti tingginya rasa nasionalisme, NU dan Muhammadiyah mengeluarkan fatwa keagamaan terkait penerimaan, pembelaan dan penjagaan pada ideologi Pancasila. NU, misalnya, mengeluarkan fatwa bahwa Pancasila adalah perjanjian agung (mitsaqan ghaliza) dan Pancasila sudah final. Fatwa keagamaan ini dikeluarkan NU pada sejumlah forum seperti Munas Alim Ulama NU, 21 Desember 1983 (16 Rabi’ul Awwal 1404 H), di Situbondo, Jawa Timur, Muktamar Ke-27 NU, 8-12 Desember 1984 (14-18 Robiulawal 1405 H) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Muktamar Ke-29 NU pada 1 Rajab 1415 Hijriyah/ 4 Desember 1994 Masehi di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Munas dan Konferensi Besar NU, 30 Juli 2006 di Surabaya, Jawa Timur serta Muktamar Ke-33 NU, 1-5 Agustus 2015, di Jombang, Jawa Timur.

    Demikian pula dengan Muhammadiyah yang juga mengelurkan fatwa keagamaan bahwa Pancasila sebagai ideologi final dan sebagai ideologi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Fatwa keagamaan ini setidaknya diputuskan Muhammadiyah pada sejumlah forum, seperti Tanwir Muhamamdiyah tahun 1951 di Yogyakarta, Muktamar Ke-41, 7-12 Desember 1985 (14-19 Rabi’ul Akhir 1406 H) di Kota Solo (Surakarta), Jawa Tengah, Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47, 16-22 Syawal 1436 H (3-7 Agustus 2015) di Makassar, Sulawesi Selatan, Tanwir Muhammadiyah di Ambon tahun 2017, Tanwir Muhammadiyah di Kupang tahun 2024. Pada Muktamar Ke-47 di Makassar tahun 2015, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa keagamaan yakni bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila dan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (Negara Kesepakatan dan Persaksian).

    Kemanusiaan

    NU dan Muhammadiyah adalah organisasi yang diketahui sama-sama sangat aktif terlibat dalam berbagai aktivisme kemanusiaan secara nasional maupun global. Semua jenis amal usaha bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan filantropi yang dimiliki NU dan Muhammadiyah pada dasarnya diperuntukkan untuk kemaslahatan kemanusiaan secara umum (universal) tanpa memandang perbedaan latar belakang agama, suku, etnis, ras maupun golongan. NU dan Muhammadiyah juga tercatat sangat aktif terlibat berbagai misi kemanusiaan secara nasional maupun internasional terkait dengan isu kebencanaan, konflik dan dialog antaragama serta antarperadaban. 

    NU dan Muhammadiyah sama-sama terjun langsung ke berbagai daerah bencana alam dan wilayah konflik baik di dalam negeri maupun di luar negeri melalui beragam bantuan dari penggalangan donasi, penyaluran bahan makanan pokok, pakaian dan obat-obatan serta bantuan tenaga medis serta jalur diplomasi. Di luar negeri misalnya, NU dan Muhammadiyah upaya penyelesaian konflik di sejumlah wilayah konflik seperti di Palestina, Lebanon, Myanmar, Filipina, Thailand, Afganistan, Suriah dan lainnya. NU melalui LAZISNU dan Muhammadiyah melalui LAZISMU juga terlibat dalam pengiriman bantuan kemanusiaan ke sejumlah wilayah terdampak konflik tersebut serta ke beberapa wilayah yang terdampak bencana alam (seperti Turkiye, Sudan, Kenya, Bangladesh, Pakistan, dan lainnya).

    NU dan Muhammadiyah juga terlibat aktif dalam aktivisme dialog antar agama maupun antar peradaban, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Di Indonesia, NU dan Muhammadiyah sangat berperan dalam upaya mewujudkan dialog antar agama melalui berbagai wadah seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), dan berbagai forum dialog antar umat beragama. Guna mewujudkan dan menguatkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia, NU dan Muhammadiyah menjalin relasi dan kemitraan strategis dengan berbagai lembaga, seperti Kementerian Agama Republik Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), dan berbagai organisasi sejenis lainnya baik secara struktural maupun kultural.

    Di aras internasional, NU dan Muhammadiyah terlibat aktif dalam berbagai forum dialog lintas iman dan lintas peradaban. Menariknya adalah NU dan Muhammadiyah melalui delegasinya masing-masing seringkali hadir bersama pada berbagai forum internasional tersebut. Sebagai misal forum Jakarta-Vatikan Declaration di Indonesia (2024), Sant’Egidio International Forum (SIF) di Paris (2024), ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) di Indonesia (2023), International Meeting for Peace Religions and Cultures in Dialog (IMPRCD) di Jerman (2023), R20 International Summit of Religious Authorities (R20 ISORA) di Indonesia (2023), World Peace Forum (WPF) di Indonesia (2022), Faith and Science: An Appeal for COP26 di Vatikan (2021), World Interfaith Harmony Week 2018 di Indonesia (2018), International Conference of Islamic Scholar (ICIS) di Indonesia (2014) dan berbagai forum sejenis lainnya.

    Selain itu, NU dan Muhammadiyah juga secara aktif ikut serta dalam berbagai forum internasional terkait dengan isu persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah). Sebut saja misalnya Intra-Islam Dialogue di Bahrain (2025), International Conference on Humanitarian Islam di Indonesia (2024), Global Conference on Women’s Rights in Islam (GCWRI) di Indonesia (2024), Abu Dhabi Forum for Peace di Uni Emirat Arab (2024), International Union of Muslim Scholars (IUMS) di Qatar (2024), International Conference on Fiqh of Civilization I di Indonesia (2023), The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies di Mesir (2022), International Conference of Renewal of Islamic Thought di Mesir (2020), High Level Consultation of World Muslim Scholars On Wasatiyat Islam (HLC-WMS) di Indonesia (2018), The Amman Message di Yordania (2004), dan berbagai forum serupa lain.

    Karena dipandang berperan aktif dalam ikut mempromosikan nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian antar manusia - seperti yang tertuang dalam Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) - NU bersama Muhammadiyah memperoleh penghargaan internasional yakni Zayed Award for Human Fraternity pada tahun 2024 di Abu Dhabi, UEA. NU dan Muhammadiyah  juga pernah masuk dalam jajaran 10 besar nominasi Nobel Perdamaian tahun 2019. Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM), antropolog Universitas Boston, Amerika Serikat (AS), Profesor Robert W. Hefner, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI di Norwegia dan Islandia (2018-2023), Profesor Todung Mulya Lubis, serta sejumlah pihak lainnya mengajukan NU dan Muhammadiyah untuk mendapatkan Nobel Perdamaian tahun 2019. Keduanya dipandang berperan aktif sejak lama dalam upaya perdamaian dunia serta globalitas moderasi Islam.

    Bergandengan Tangan

    NU dan Muhammadiyah adalah saudara kandung yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi, Indonesia. Bahkan kedua pendirinya yakni Hadratussyeikh KHM. Hasyim Asyar’i dan KH. Ahmad Dahlan (Syeikh Muhammad Darwis) adalah sama-sama keturunan dari Wali Songo, majelis waliyullah penyebar agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke-15. Secara geneologis, KH. Ahmad Dahlan masih keturunan dari Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (1371-1419 M), sedangkan KHM. Hasyim Asyari masih merupakan keturunan dari Sunan Giri atau Raden ‘Ainul Yaqin atau Raden Paku (1442-1506 M). Selain itu, keduanya, Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asyar’i, juga berguru pada guru yang sama yakni KH. Sholeh Darat di Semarang, Jawa Tengah (1820-1903 M), Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1915 M) dan Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah (1813-1879 M) di Mekkah, Arab Saudi.

    Maka, sudah semestinya jika NU dan Muhammadiyah dapat senantiasa bergandengan tangan dalam menjaga, merawat dan memajukan keumatan, kebangsaan serta kemanusiaan melalui kredo bersama, Islam nusantara yang berkemajuan. Adanya fakta perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam beberapa perkara tertentu hendaknya senantiasa dapat disikapi dengan semangat toleransi yang tinggi (tasamuh) melalui kaidah emas “Al-Ihtiramu fil Mukhtalaf, wa at-Ta'awun fil Muttafaq” (saling menghormati untuk perkara yang diperselisihkan dan saling bekerja sama untuk perkara yang disepakati). Sebagaimana wasiat pesan dari almarhum KH. Hasyim Muzadi terkait kebersamaan NU dan Muhammadiyah, “Bertemunya ini (NU dan Muhammadiyah) banyak yang tidak suka…Oleh karenanya wawasan keagamaan, wawasan keumatan, wawasan kebangsaan dan wawasan kenegaraan tidak boleh dirobek oleh kepentingan apapun juga.” Semoga.



    Komentar
    Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
    • Nahdlatul Ulama & Muhammadiyah, Satu Tarikan Nafas untuk Semesta

    Terkini