Drs. SOLEH AMINI, M.Si. PSIKOLOG
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Bencana tidak bisa dipastikan datangnya, seperti gempa bumi yang
baru saja terjadi di wilayah Cianjur Jawa Barat. Indonesia sebagai negara rawan
bencana, harus memiliki blue print edukasi tentang kebencanaan. Karena
masih sering ditemukan kesalahan masyarakat awam dalam menyikapi bencana alam.
Terutama menyangkut penanganan terhadap kehidupan anak-anak pasca bencana.
Konsep dasar terapi psikologi
dalam penanganan trauma pasca bencana
pada anak-anak harus dilakukan dengan konsep pendekatan antar disiplin ilmu dan
lintas sektoral. Aktivitas atau pemulihan kondisi korban bencana tidak cukup
hanya ditangani oleh dokter, psikolog, konselor, guru, dan pekerja sosial lainnya.
Berbagai profesi tersebut harus bersinergi dan membangun kolaborasi membuka
akses bersama untuk melakukan tindakan-tindakan rehabilitatif maupun tindakan kuratif atas berbagai problem
yang tengah dihadapi para korban bencana . Hal ini penting mengingat persoalan
yang dihadapi pengungsi korban bencana
tidak hanya berupa problem kesehatan, sanitasi, kebutuhan gizi , nutrisi, dan
pendidikan.
Hal lain yang sering lolos dari prioritas penanganan
korban bencana adalah bantuan terapi psikologi untuk mengembalikan kondisi
mental yang porak poranda akibat bencana luar biasa yang baru saja dialami.
Kebugaran mental menjadi hal yang sangat penting dalam proses rehabilitasi dan
recovery anak-anak korban bencana. Oleh karena itu prioritas terdepan dalam
program pemulihan anak-anak korban bencana adalah mengembalikan kondisi mental
mereka dari pengalaman-pengalaman traumatic, sehingga terbentuk ketahanan psikologis
yang kokoh untuk menghadapi realita bahwa dirinya baru saja tertimpa bencana
yang mengerikan.
Pemulihan kondisi mental ini tidak mungkin
bisa dilakukan dengan baik bila masing-masing kelompok relawan melakukan dengan
caranya sendiri-sendiri dan mengabikan cara lain yang mungkin diperlukan. Persoalan
atau permasalahan yang timbul pada era pasca bencana tidak hanya disebabkan
oleh satu factor tunggal, melainkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Oleh
karena itu untuk mewujutkan soliditas team yang solid maka yang harus dlakukan pertama
kali adalah mengkesampingkan egoisme
sektoral, egoisme profesi dan egoisme keilmuan, namun tetap menjaga
profesionlisme profesi masing-masing. Semua
elemen yang terlibat dalam kegiatan penanganan trauma pasca bencana harus bersedia
untuk saling belajar, saling mendengarkan dan saling mengisi sehingga menjadi
team kerja yang solid. Dalam pengalaman pribadi penulis selaku relawan bencana
banyak mendapati keadaan gagal program karena berkembangnya egoisme kelompok ini.
Anak
korban Bencana
Persoalan atau
permasalahan pasca bencana yang dihadapi oleh anak-anak jauh lebih komplek
dibanding dengan persoalan yang sama yang dihadapi oleh para korban berusia
dewasa. Terdapat banyak persoalan pada diri anak korban bencana yang sifatnya
tersembunyi, Anak tidak mampu mengemukakan atau menjelaskan apa yang dirasakan
dan apa yang inginkan. Persoalan-persoalan tersebut bersifat laten dan bisa meledak di kemudian hari jauh setelah
persoalan bencana itu sendiri sudah lama berlalu. Efek traumatic
akibat bencana akan terbawa selama masa proses tumbuh kembangnya, bahkan bisa
sangat mempengaruhi pembentukan karakter, sifat dan pola pola perilaku tertentu
yang nantinya bisa menghambat proses kreatif dan proses produktif di usia dewasanya. Oleh karena itu dalam
penanganan trauma pasca bencana pada anak-anak ini dibutuhkan kesegeraan guna menghambat mekanisme
internalisasi pengalaman buruk akibat
bencana dalam alam ketidaksadaran mereka.
Teknik terapi pada
pemulihan trauma pasca bencana dapat juga dilakukan dengan cara memutus arah
arus trauma dengan melakukan experiance
blocking sehingga anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan
pengalaman pahitnya itu dalam khayalan atau imajinasi imajinasi yang
menyeramkan. Bila terjadi Kondisi yang demikian maka efek trauma akan menjadi lebih traumatic dan
menimbulkan gangguan fungsi kejiwaan yang lebih parah . Experience blocking dapat dilakukan dengan cara mengalihkan dan mensubsitusikan focus
perhatian anak atas nestapa bencana yang
menimpanya dengan memberikan aktivitas-aktivitas pengganti, baik berupa
kegiatan fisik, psikis dan kegiatan sosial spiritual. Aktivitas pengganti ini
merupakan upaya kanalisasi dari segala bentuk pengalaman nagatif akibat
bencana. Mereka diberikan kesempatan untuk menyalurkan rasa sedih, rasa takut
yang ektrem, dendam pada alam dengan kegiatan kegiatan bersama yang sifatnya
menggembirakan. Kegiatan tersebut
dilakukan dalam kelompok-kelompok bermain atau kelompok belajar dengan
bimbingan relawan pendamping. Dalam kegiatan
ini anak tidak hanya dijadikan sebagai obyek pasif atau semata mata menjadi
sasaran kegiatan, melainkan secara bergantian juga dijadikan bagian aktif dari pelaksanaan
program bersama-sama para relawan yang mempunyai kompetensi . Intinya anak
dibawa pada aktifitas terstruktur yang mengarah pada terbentuknya stimulasi
internal sehingga dapat mewujut sinergi
internal dalam diri anak . Dengan demikian anak kembali memiliki energy
psikologis yang lebih baru yang sangat berguna untuk membangun rasa percaya
diri, keberanian dan ekploitasi diri untuk memasuki kembali kehidupan baru
pasca bencana. Energi psikologis yang
terbentuk tersebut berdampak pada timbulnya keasadaran diri bahwa selain
dirinya banyak orang lain yang juga menderita karena musibah bencana.
Secara psikologis
timbulnya rasa senasip sepenanggungan ini akan menjadi daya atau kekuatan yang
luar biasa yang dapat mengentaskan seseorang dari nestapa diri dan
mendorong terjadinya interaksi personal
yang penuh makna. Hal inilah yang secara mekanistis akan mewujutkan terjadinya self healing atau mekanisme penyembuhan
oleh dirinya sendiri. Namun untuk menuju
itu semua dibutuhkan kerja keras dan pendampingan yang intensif tidak hanya
dari para relawan tetapi juga dari para
orang tua dan guru-guru sekolah.
Ketahanan
Psikologis
Dalam proses ini peran sekolah menjadi penting karena
institusi tersebut memiliki tanggung jawab membentuk intellectual integrative yang akan membuka kecerdasan academic, kecerdasan
emosional, kecerdasan cultural dan kecerdasan spiritual anak. Semua bentuk-bentuk kecerdasan tersebut sangat
diperlukan sekali bagi proses tumbuh kembang anak, khusunya dalam membangun
imunitas psikologis sehingga anak menjadi kebal dalam menghadapi derita maupun
kenestapaan lain yang timbul karena bencana alam . Ketahan atau Imunitas
psikologis yang terbangun itulah yang nantinya akan membawa hidup anak-anak
pada kehidupan normal meskipun mereka berada di dalam situasi alam yang sama
seperti alam sebelum bencana melanda mereka. Oleh karena itu dalam pandangan
saya sebagai psikolog, ide untuk merelokasi anak dari daerah rawan bencana ke lokasi atau daerah
lain menjadi tidak penting lagi. Sebab relokasi selain mebutuhkan sumber
pembiayaan yang besar juga menuntut anak untuk melakukan proses adaptasi yang
sesungguhnya tidak mudah dilakukan oleh anak-anak. Adaptasi sosial, cultural dan geografis
akibat relokasi akan banyak menguras energy psikologis anak, sehingga anak
rentan dihinggapi stress dan bahkan gangguan-gangguan psikotis lainnya.
Konsekuensi Bencana
Dampak yang paling nyata dari sebuah bencana adalah terjadinya korban fisik, jiwa maupun harta benda. Namun dari semua kerugian tersebut kerugian paling dahsyat adalah kerugian yang menyangkut aspek psikologis. Dalam kondisi bencana dampak psikologis selalu lebih besar daripada dampak medis yang ditimbulkan. Dalam kondisi bencana anak-anak adalah merupakan pihak yang paling rentan terpapar masalah-masalah psikososial dan medis karena mekanisme pertahanan dirinya yang masih lemah.
Dampak psikologis yang paling umum dari imbas terjadinya bencana biasanya berupa stress dan rasa takut. Kedua hal itu menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku dan gangguan mental. Reaksi stress memapar pada empat efek personalitas manusia. Yaitu tefek emosional, efek kognitif, efek fisik dan efek interpersonal. Efek emosional nampak dari timbulnya shock, marah, sedih, masa bodoh, takut, merasa bersalah, cepat marah dan putus asa. efek kognitif tercermin dari kurangnya kemampuan berkonsentrasi, tidak bisa membuat keputusan, daya ingat menurun, tidak bisa percaya, bingung, menurunnya self esteem (harga diri) dan cenderung menyalahkan diri sendiri.
Sementara itu efek yang terkait dengan aspek fisik adalah lelah, gangguan tidur, pusing kepala, gangguan motilitas lambung atau dyspepsia, menurunnya nafsu makan, kecacatan dan lainnya. Dampak lain yang ditimbulkan oleh stress dan takut akibat bencana juga berefek pada aspek hubungan interpersonal, yakni dalam bentuk perilaku alienasi, menarik diri, konflik, tidak bisa bekerja, tidak bisa sekolah, ingin membalas, mencari kambing hitam dan sulit memaafkan diri sendiri maupun orang lain.
Kondisi stress tersebut bukan merupakan persoalan yang
ringan, oleh karena itu harus segera mendapatkan pertolongan sehingga
penderitaan korban tidak merembet pada penderitaan yang lebih berat lagi semacam
depresi yang ujung-ujungnya berkeinginan kuat untuk melakukan bunuh diri. Untuk
melakukan tugas tersebut maka dibutuhkan model psychological first aid (PFA), yaitu sebuah cara penanganan awal
bagi seseorang yang sedang berada dalam kondisi stress. PFA dilakukan dengan
cara mendorong komunitas untuk berperan lebih aktif terhadap permasalahan yang
terjadi di lingkungannya, melakukan rujukan jika korban menujukkan gejala reaksi stress yang
akut dan memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai tingkah laku yang
wajar muncul dalam kondisi bencana. PFA merupakan intervensi holistic awal yang
bisa diberikan dalam lima langkah sederhana. Yaitu memenuhi kebutuhan dasar,
mendengarkan, menerima perasaan atau keluh kesah penderitaan korban,
pendampingan untuk langkah-langkah selanjutnya dan melakukan rujukan. Lima
langkah sederhana tersebut akan mewujutkan kembali rasa aman (safety) yang
mungkin sudah hilang bersama datangnya bencana, menimbulkan keberanian diri
pada korban untuk memfungsikan potensi dirinya kembali dan mendorong korban
untuk mengambil dan menentukan langkah berikutnya yang akan dilakukan demi
membangun masa depan yang baru.