• Jelajahi

    Copyright © Liputan Jateng
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Bantuan Psikologis Pasca Bencana Oleh Drs. Soleh Amini, M.Si Psikolog

    Last Updated 2023-02-03T11:39:30Z

     


    Drs. SOLEH AMINI, M.Si. PSIKOLOG


    Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta



    Bencana tidak bisa dipastikan datangnya, seperti gempa bumi yang baru saja terjadi di wilayah Cianjur Jawa Barat. Indonesia sebagai negara rawan bencana, harus memiliki blue print edukasi tentang kebencanaan. Karena masih sering ditemukan kesalahan masyarakat awam dalam menyikapi bencana alam. Terutama menyangkut penanganan terhadap kehidupan anak-anak pasca bencana.

    Konsep dasar terapi psikologi dalam penanganan trauma pasca bencana pada anak-anak harus dilakukan dengan konsep pendekatan antar disiplin ilmu dan lintas sektoral. Aktivitas atau pemulihan kondisi korban bencana tidak cukup hanya ditangani oleh dokter, psikolog, konselor, guru, dan pekerja sosial lainnya. Berbagai profesi tersebut harus bersinergi dan membangun kolaborasi membuka akses bersama untuk melakukan tindakan-tindakan rehabilitatif  maupun tindakan kuratif atas berbagai problem yang tengah dihadapi para korban bencana . Hal ini penting mengingat persoalan yang dihadapi  pengungsi korban bencana tidak hanya berupa problem kesehatan, sanitasi, kebutuhan gizi , nutrisi, dan pendidikan.


     Hal lain yang sering lolos dari prioritas penanganan korban bencana adalah bantuan terapi psikologi untuk mengembalikan kondisi mental yang porak poranda akibat bencana luar biasa yang baru saja dialami. Kebugaran mental menjadi hal yang sangat penting dalam proses rehabilitasi dan recovery anak-anak korban bencana. Oleh karena itu prioritas terdepan dalam program pemulihan anak-anak korban bencana adalah mengembalikan kondisi mental mereka dari pengalaman-pengalaman traumatic, sehingga terbentuk ketahanan psikologis yang kokoh untuk menghadapi realita bahwa dirinya baru saja tertimpa bencana yang mengerikan.


     Pemulihan kondisi mental ini tidak mungkin bisa dilakukan dengan baik bila masing-masing kelompok relawan melakukan dengan caranya sendiri-sendiri dan mengabikan cara lain yang mungkin diperlukan. Persoalan atau permasalahan yang timbul pada era pasca bencana tidak hanya disebabkan oleh satu factor tunggal, melainkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu untuk mewujutkan soliditas team yang solid maka yang harus dlakukan pertama kali adalah mengkesampingkan  egoisme sektoral, egoisme profesi dan egoisme keilmuan, namun tetap menjaga profesionlisme profesi masing-masing.  Semua elemen yang terlibat dalam kegiatan penanganan trauma pasca bencana harus bersedia untuk saling belajar, saling mendengarkan dan saling mengisi sehingga menjadi team kerja yang solid. Dalam pengalaman pribadi penulis selaku relawan bencana banyak mendapati keadaan gagal program  karena berkembangnya egoisme kelompok ini.

    Anak korban Bencana

    Persoalan atau permasalahan pasca bencana yang dihadapi oleh anak-anak jauh lebih komplek dibanding dengan persoalan yang sama yang dihadapi oleh para korban berusia dewasa. Terdapat banyak persoalan pada diri anak korban bencana yang sifatnya tersembunyi, Anak tidak mampu mengemukakan atau menjelaskan apa yang dirasakan dan apa yang inginkan. Persoalan-persoalan tersebut  bersifat laten dan  bisa meledak di kemudian hari jauh setelah persoalan bencana itu sendiri sudah lama berlalu.  Efek traumatic akibat bencana akan terbawa selama masa proses tumbuh kembangnya, bahkan bisa sangat mempengaruhi pembentukan karakter, sifat dan pola pola perilaku tertentu yang nantinya bisa menghambat proses kreatif dan proses produktif  di usia dewasanya. Oleh karena itu dalam penanganan trauma pasca bencana pada anak-anak ini dibutuhkan kesegeraan guna menghambat mekanisme internalisasi  pengalaman buruk akibat bencana dalam alam ketidaksadaran mereka. 


    Teknik terapi pada pemulihan trauma pasca bencana dapat juga dilakukan dengan cara memutus arah arus trauma dengan melakukan experiance blocking sehingga anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pengalaman pahitnya itu dalam khayalan atau imajinasi imajinasi yang menyeramkan. Bila terjadi Kondisi yang demikian maka  efek trauma akan menjadi lebih traumatic dan menimbulkan gangguan fungsi kejiwaan yang lebih parah . Experience blocking  dapat dilakukan dengan cara  mengalihkan dan mensubsitusikan focus perhatian anak atas nestapa  bencana yang menimpanya dengan memberikan aktivitas-aktivitas pengganti, baik berupa kegiatan fisik, psikis dan kegiatan sosial spiritual. Aktivitas pengganti ini merupakan upaya kanalisasi dari segala bentuk pengalaman nagatif akibat bencana. Mereka diberikan kesempatan untuk menyalurkan rasa sedih, rasa takut yang ektrem, dendam pada alam dengan kegiatan kegiatan bersama yang sifatnya menggembirakan.  Kegiatan tersebut dilakukan dalam kelompok-kelompok bermain atau kelompok belajar dengan bimbingan relawan pendamping.  Dalam kegiatan ini anak tidak hanya dijadikan sebagai obyek pasif atau semata mata menjadi sasaran kegiatan, melainkan secara bergantian juga dijadikan bagian aktif dari pelaksanaan program bersama-sama para relawan yang mempunyai kompetensi . Intinya anak dibawa pada aktifitas terstruktur yang mengarah pada terbentuknya stimulasi internal  sehingga dapat mewujut sinergi internal dalam diri anak . Dengan demikian anak kembali memiliki energy psikologis yang lebih baru yang sangat berguna untuk membangun rasa percaya diri, keberanian dan ekploitasi diri untuk memasuki kembali kehidupan baru pasca bencana.  Energi psikologis yang terbentuk tersebut berdampak pada timbulnya keasadaran diri bahwa selain dirinya banyak orang lain yang juga menderita karena musibah bencana.  


    Secara psikologis timbulnya rasa senasip sepenanggungan ini akan menjadi daya atau kekuatan yang luar biasa yang dapat mengentaskan seseorang dari nestapa diri dan mendorong  terjadinya interaksi personal yang penuh makna. Hal inilah yang secara mekanistis akan mewujutkan terjadinya self healing atau mekanisme penyembuhan oleh dirinya sendiri.  Namun untuk menuju itu semua dibutuhkan kerja keras dan pendampingan yang intensif tidak hanya dari para relawan  tetapi juga dari para orang tua dan guru-guru sekolah.


    Ketahanan Psikologis

    Dalam proses  ini peran sekolah menjadi penting karena institusi tersebut memiliki tanggung jawab membentuk intellectual integrative yang akan membuka kecerdasan academic, kecerdasan emosional, kecerdasan cultural dan kecerdasan spiritual anak.  Semua bentuk-bentuk kecerdasan tersebut sangat diperlukan sekali bagi proses tumbuh kembang anak, khusunya dalam membangun imunitas psikologis sehingga anak menjadi kebal dalam menghadapi derita maupun kenestapaan lain yang timbul karena bencana alam . Ketahan atau Imunitas psikologis yang terbangun itulah yang nantinya akan membawa hidup anak-anak pada kehidupan normal meskipun mereka berada di dalam situasi alam yang sama seperti alam sebelum bencana melanda mereka. Oleh karena itu dalam pandangan saya sebagai psikolog, ide untuk merelokasi anak dari  daerah rawan bencana ke lokasi atau daerah lain menjadi tidak penting lagi. Sebab relokasi selain mebutuhkan sumber pembiayaan yang besar juga menuntut anak untuk melakukan proses adaptasi yang sesungguhnya tidak mudah dilakukan oleh anak-anak.  Adaptasi sosial, cultural dan geografis akibat relokasi akan banyak menguras energy psikologis anak, sehingga anak rentan dihinggapi stress dan bahkan gangguan-gangguan psikotis lainnya.

    Konsekuensi Bencana

    Dampak yang paling nyata dari sebuah bencana adalah terjadinya korban fisik, jiwa maupun harta benda. Namun dari semua kerugian tersebut kerugian paling dahsyat adalah kerugian yang menyangkut aspek  psikologis. Dalam kondisi bencana dampak psikologis selalu lebih besar daripada dampak medis yang ditimbulkan.  Dalam kondisi bencana anak-anak adalah merupakan pihak yang paling rentan terpapar masalah-masalah psikososial dan medis karena mekanisme pertahanan dirinya yang masih lemah.

    Dampak psikologis yang paling umum dari imbas terjadinya bencana biasanya berupa stress dan rasa takut. Kedua hal itu menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku dan gangguan mental. Reaksi stress memapar pada empat efek personalitas manusia. Yaitu tefek emosional, efek kognitif, efek fisik dan efek interpersonal. Efek emosional nampak dari  timbulnya shock, marah, sedih, masa bodoh, takut, merasa bersalah, cepat marah dan putus asa. efek kognitif tercermin dari kurangnya kemampuan berkonsentrasi, tidak bisa membuat keputusan, daya ingat menurun, tidak bisa percaya, bingung, menurunnya self esteem (harga diri) dan cenderung menyalahkan diri sendiri.

    Sementara itu efek yang terkait dengan aspek fisik adalah lelah, gangguan tidur, pusing kepala, gangguan motilitas lambung atau dyspepsia, menurunnya nafsu makan, kecacatan dan lainnya. Dampak lain yang ditimbulkan oleh stress dan takut akibat bencana juga berefek pada aspek hubungan interpersonal, yakni dalam bentuk perilaku alienasi, menarik diri, konflik, tidak bisa bekerja, tidak bisa sekolah, ingin membalas, mencari kambing hitam dan sulit memaafkan diri sendiri maupun orang lain.

    Kondisi stress tersebut bukan merupakan persoalan yang ringan, oleh karena itu harus segera mendapatkan pertolongan sehingga penderitaan korban tidak merembet pada penderitaan yang lebih berat lagi semacam depresi yang ujung-ujungnya berkeinginan kuat untuk melakukan bunuh diri. Untuk melakukan tugas tersebut maka dibutuhkan model psychological first aid (PFA), yaitu sebuah cara penanganan awal bagi seseorang yang sedang berada dalam kondisi stress. PFA dilakukan dengan cara mendorong komunitas untuk berperan lebih aktif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungannya, melakukan rujukan jika  korban menujukkan gejala reaksi stress yang akut dan memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai tingkah laku yang wajar muncul dalam kondisi bencana. PFA merupakan intervensi holistic awal yang bisa diberikan dalam lima langkah sederhana. Yaitu memenuhi kebutuhan dasar, mendengarkan, menerima perasaan atau keluh kesah penderitaan korban, pendampingan untuk langkah-langkah selanjutnya dan melakukan rujukan. Lima langkah sederhana tersebut akan mewujutkan kembali rasa aman (safety) yang mungkin sudah hilang bersama datangnya bencana, menimbulkan keberanian diri pada korban untuk memfungsikan potensi dirinya kembali dan mendorong korban untuk mengambil dan menentukan langkah berikutnya yang akan dilakukan demi membangun masa depan yang baru.

     

    Komentar
    Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
    • Bantuan Psikologis Pasca Bencana Oleh Drs. Soleh Amini, M.Si Psikolog

    Terkini